AKTOR DAN TOTALITAS RADIKAL*
Oleh: John Heryanto
Performance "Melapal Jejak- John Heryanto" Statsiun Tugu Yogya-Foto by: Taufik Darwis |
Realitas
telah berubah bahkan telah melampaui seni, dimana seni pada mulanya adalah
peniruan atau penciptaan ulang (mimetis) atas realitas. lantas apa yang mesti dipertahankan lagi oleh
seni jika tak lagi sesuai dengan kenyataan? apakah seni (khususnya teater) hanya
akan menjadi ilusi semata yang dipenuhi dengan mimpi-mimpi yang tidak jelas?
lantas untuk apa acting? dari sanalah
kiranya fungsi dan tujuan acting mestilah ditelusuri kembali sehingga acting
tidak hanya sebatas membawakan peran dalam sebuah drama.
1
Sejarah manusia adalah sejarah pertentanngan kelas
( Karl Marx)
Teater pada mulanya berawal dari perlawanan
atas ketearasingan manusia dari realitas, maka manusia melakukan reproduksi
ulang seperti sebuh kalimat seni adalah
imitasi atas realitas alam (mimetis) berdasarkan hasrat dan pengalaman estetis akan
keindahan sementara menurut pandangan
Plato mengenai seni alam (natural object) bahwa pengalaman keindahan itu hanyalah reaksi yang
berupa tiruan terhadap yang terang sementara di abad pertengahan seni bertolak
dari keindahan Tuhan maka estetika menjadi atas hal yang memukau diluar dari
materi. namun bagi marx seni tidaklah sebatas tiruan dan refleksi dari realitas
ekternal ke dalam tujuan-tujuan manusia.
sebab manusia mengalami keterasingan dari pertenatangan kelas antara manusia
dan alam dimana manusia merupakan bagian dari alam semesta, manusia dan agama
(dimana kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada kepetingan kelas pemeluknya),
manusia dan manusia berdasarkan kelas sosialnya, maka seni menjadi jalan bagi
manusia untuk membagun kesadarannya atas keterasingan guna mencapai pembebasan.
Sejarah teater merupakan sejarah pemberontakan dan kumpulan masa mulai dari ritual agama dan karnival pesta rakyat semua kelas sosial sejak tahun 330 sebelum masehi. Dimana Aristoteles di kota Yunani mengerjakan diskusi teoritis pertama tentang acting dalam poeticsnya atau lebih dikenal dengan tragedi aristoteles. Dari analisa naskah Sopokles dengan menitikberatkan acting pada sebab mengada. Sehingga menjadi pembersih atau katarsis bagi penonton, dimana penonton dapat melibatkan jiwanya tanpa berpikir terlebih dahulu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Arnold Hauster yang menyebutnya semacam intimidasi terhadap kesadaran penonton untuk menghilangkan segala sesuatu yang pada umumnya tidak disetujui seperti revolusi karena sistem tersebut dirancang untuk mengekang individu supaya menyesuaikan pada apa yang menyebabkan ada yaitu kesimbangan dan kebijakan kaum borjuis.
Hal itulah yang di lawan oleh epik brecht bahwa teater bukan untuk mengenang melainkan untuk memanggil dan bertindak sehingga penonton dapat membebaskan dirinya dari refresi hegemoni sebab brech merancang gagasan teaternya sebagai pembangkit kesadaran yang berpangkal pada sikap kritis yang historis.
Teater dan manusia adalah sebuah reproduksi maka tentunya tidaklah dapat dipishkan dari sistem ekomi didalamnya karena kedunya bersandar pada produksi, namun yang menjadi permasalahannya untuk apa teater ada (tentu saja didalamnya dipertanyakan pula untuk apa acting)?
Sejarah teater merupakan sejarah pemberontakan dan kumpulan masa mulai dari ritual agama dan karnival pesta rakyat semua kelas sosial sejak tahun 330 sebelum masehi. Dimana Aristoteles di kota Yunani mengerjakan diskusi teoritis pertama tentang acting dalam poeticsnya atau lebih dikenal dengan tragedi aristoteles. Dari analisa naskah Sopokles dengan menitikberatkan acting pada sebab mengada. Sehingga menjadi pembersih atau katarsis bagi penonton, dimana penonton dapat melibatkan jiwanya tanpa berpikir terlebih dahulu.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Arnold Hauster yang menyebutnya semacam intimidasi terhadap kesadaran penonton untuk menghilangkan segala sesuatu yang pada umumnya tidak disetujui seperti revolusi karena sistem tersebut dirancang untuk mengekang individu supaya menyesuaikan pada apa yang menyebabkan ada yaitu kesimbangan dan kebijakan kaum borjuis.
Hal itulah yang di lawan oleh epik brecht bahwa teater bukan untuk mengenang melainkan untuk memanggil dan bertindak sehingga penonton dapat membebaskan dirinya dari refresi hegemoni sebab brech merancang gagasan teaternya sebagai pembangkit kesadaran yang berpangkal pada sikap kritis yang historis.
Teater dan manusia adalah sebuah reproduksi maka tentunya tidaklah dapat dipishkan dari sistem ekomi didalamnya karena kedunya bersandar pada produksi, namun yang menjadi permasalahannya untuk apa teater ada (tentu saja didalamnya dipertanyakan pula untuk apa acting)?
2
Dalam kamus bahasa Inggris bahwa acting
adalah sebuah cara membawakan peran dalam
drama. yang menjadi pertanyaannya
adalah akting mau dibawa kemana?
Antonin
Artaud melakukan percobaan teater dengan mencari bahasa murni yang bersumber dari
teater itu sendiri, maka akting bagi aktor artaud adalah pengungkapan bahasa
murni teater yaitu teater kekajaman atau teror. Dimana laku akting adalah
pemberontakan yang belandaskan dari kepercayaan batin / mistycal soul.
Sedangkan Stanislavky mendasarkan akting pada menjadi
dengan membangun penokohan didalamnya berdasarkan drama. Maka aktor adalah
seorang yang menjadi pemeran seutuhnya dalam sebuah naskah yang tentu saja berdasarkan
tujuan-tujaun naskah yang dibawakannya. Maka naskah menjadi hal yang penting
bagi penerapan acting stanislavky sebab tujuan acting disandarkan pada
tujuaan-tujuan yang terdapat dalam naskah tersebut.
Mayerhol dengan menggunakan
konsep biomekanik yang berdasarkan pada perkembangan industri ketika revolusi
kebudayaan di rusia maka kiranya acting menjadi penting sebagai bahasa
perlawanan atas percepatan industri dengan mendasarkan penciptaan acting pada
sebuah mesin dalam rumusan fisika dan biologi yang mekanik dan masih banyak
lagi serangkayan percarian gagasan tentang acting lainya termasuk peter brook
dengan brodway, jerzi grotosky dengan konsep via negativa, agusto boal dengan
teater forum, dll.
Berbagai diskursus acting terus dilakukan mulai dari zaman
aristoles sampai hari ini bahkan lebih teoritis
dengan rumusan-rumusan yang berdasarkan pada perkemangan ilmu
pengetahuan dan unversalitas. namun yang
menjadi pertanyaan adalah apakah estetika dalam akting mestilah didasarkan
sebuah penilaian?
Apakah tidak sepantasnya setiap aktor hari ini mencoba
belajar lagi untuk mengalami lebih dari pada memahami (menempatkan realitas
kedalam struktur pemahaman)? bagaimana pula setiap aktor bisa mempertanggunga jawabkan
atas imaji dalam acting (sebab konsep acting lahir pada mulanya lahir dari
imaji atas reaksi terhadap realitas yang dihadapi)? seluruh gestur, vokal,
dialog, dan segala apa yang terdapat dalam acting adalah sebuah bahasa yang
mesti dibaca sebagai penanda. namun yang menjadi masalahnya aktor dalam
beracting memabawa tanda apa?
3
Bagi
Marcuse, status dan otonomi seni bukan hanya berdasarkan pada fondasi bagi
sipat alternatif dan konserfatifnya, tetapi juga merupkan basis kapasitas yang
bersifat mendobrak dimana karya seni yang autentik menawarkan sebuah counter-image terhadap kondisi aktual
sehari- hari, sebagaimana pula Adorno yang beranggapan bahwa keberhasilan
sebuah seni tergantung bagimana seni mampu mebongkar realitas dimana
radikalitas sebagai sebuah relasi esensi manusia sehingga memungkinkan kelahiran
kembali subjek yang bersipat kritis dan pendobrakan dalam diri si penghayat
seni.
---
*Catatan ini hanyalah pemantik diskusi bersama teman-teman mahasiswa Jurusan Teater STSI Bandung angkatan 2012 di Perpustakaan. dan dimuat di media LPM Daunjtai.
Daftar Pustaka
1.
Crsitiawan,
Wawan .dkk . 2009. Peristilahan Teater.
Bandung: Sunan Ambu STSI Pers.
2.
Sahid, Nur. 2004.
Semiotika Teater. Yoyakarta: Lembaga
Penelitian Institut Seni Indonesia
3.
Soetomo,
Greg. 2003. Krisis Seni Krisis Kesadaran.Yogyakarta:
Kanisius
4.
Chernishepsky,
N.G. Hubungan Seni dengan Ralitas. 2005. Bandung: Ultimus.
Komentar
Posting Komentar